Embun pagi menyambut sang mentari dengan diiringi kicauan burung yang terbang menjauhi sangkarnya. Terlihat seorang gadis yang memulai rutinitas kesehariannya di sebuah kamar kecil. Alena Frenziya, itulah namanya.
Alena tinggal di tengah kota Gangnam seorang diri. Di negeri ginseng ini, dia merantau hendak mengadu nasib. Tapi tampaknya Dewa tidak berpihak kepadanya. Gadis itu telah tinggal 3 tahun lamanya di kota ini, tetapi belum ada banyak perubahan di kehidupannya.
Hari ini adalah hari spesial baginya. Umurnya kini telah menginjak usia dua puluh satu tahun. Tidak ada ucapan, tidak ada kue, dan tidak ada kerabat. Dia sudah terbiasa dengan kesepiannya ini.
Alena memulai paginya dengan berjalan kaki menuju kampus dimana ia mengenyam pendidikan yang ia dapat melalui beasiswa S1 dari pemerintah. Tidak mudah baginya untuk menggapai hal tersebut, karena dia harus beradu dengan ratusan peserta lainnya yang menginginkan beasiswa tersebut. Ini adalah suatu hal yang harus disyukuri olehnya.
Di persimpangan jalan, Alena mengunjungi sebuah toko yang sederhana. Dia membeli sepotong roti dan segelas susu. Belanjaannya dibungkus dengan paper bag rapi. Kini Alena melanjutkan perjalanan menuju kampus dengan senyum tipisnya.
Gerbang tinggi yang sekitar tiga meter telah terbuka lebar sejak tadi pagi. Gerbang itu seakan – akan menyambut para mahasiswa dan dosen yang memiliki urusan di dalam sana. Alena sedikit berlari ketika sudah memasuki gerbang, karena sebentar lagi Mr. Kim akan memulai pelajarannya.
Sekitar dua jam telah berlalu, kini Alena tengah bersandar di pohon rindang yang berada di taman kampus. Ia sibuk dengan jurnal dan pulpen yang menari di atasnya. Tanpa disadarinya, telah banyak burung yang menghampirinya bak sedang mengemis makanan. Alena tersadar dan teringat dengan roti yang dibelinya saat di persimpangan tadi. Ia pun mengeluarkan isi paper bagnya. Perutnya keroncongan, tetapi tidak tega bila harus menghiraukan para burung yang ada di sekitarnya. Akhirnya ia memberikan sepotong roti itu kepada para burung dan ia hanya menyantap segelas susu yang tersisa. Alena kembali sibuk dengan jurnalnya.
Tak terasa waktu telah berlalu, kini Alena bangkit dari duduknya dan hendak pergi ke tempat lain. Di perjalanan sorenya, ia bertemu dengan seorang nenek tua yang berjalan tertatih sendirian. Alena pun menghampirinya. Muka sang nenek terlihat begitu pucat dan mengeluarkan keringat dingin. Dia pun menngarahkan sang nenek untuk duduk. Ia pun bergegas membeli makanan dan minuman untuk disantap si nenek.
Alena memberikan sebungkus roti dan sebotol air mineral kepada sang nenek, dengan tangan bergetar nenek melahap roti tersebut.
Sang nenek seakan tahu cerita kehidupan Alena dan memberikan sebuah motivasi. Air mata Alena meluncur, hatinya tersentuh dan ia teringat dengan mimpinya yang telah dirancangnya rapi ketika empat tahun yang lalu. Kini ia bangkit dan hendak memulai awal yang baru dengan semangat yang baru.
Alena hendak pergi dari taman tersebut, tetapi sang nenek memanggilnya dan memberikan sebuket bunga cantik daffodil. Dengan arti terlahir kembali, semangat baru, kehormatan, dan penghargaan. Alena menerimanya dengan senang hati. Alena dan sang nenek pun harus berpisah, mereka mengucapkan rasa terimakasih satu sama lain.
Alena berjalan hendak pulang, kini badannya lebih terasa ringan dan bibirnya mengulas senyum yang sangat merekah. Di tangannya masih menggenggam erat bunga pemberian sang nenek. Ditatapnya langit dan mengingat ucapan sang nenek yang diberikan kepadanya tadi. Dengan rasa syukur dia ucapkan pada Sang Cipta atas hidup yang telah diberikan.
Harapan bukanlah impian, tetapi jalan membuat impian menjadi nyata. Jika kamu bisa memimpikan itu, kamu bisa melakukannya.
cr pict : https://www.yellowpages.ca
Komentar
Posting Komentar